Tari Patuddu



Alkisah, pada zaman dahulu, di daerah Mandar Sulawesi Barat, hiduplah seorang Anak Raja di sebuah pegunungan. Di sana ia tinggal di sebuah istana megah yang dikelilingi oleh taman bunga dan buah yang sangat indah. Di dalam taman itu terdapat sebuah kolam permandian yang bersih dan sangat jernih airnya.


Pada suatu hari, saat gerimis tampak pelangi di atas rumah Anak Raja. Kemudian tercium aroma harum semerbak. Si Anak Raja mencari-cari asal bau itu. Ia memasuki setiap ruangan di dalam rumahnya. Namun, asal aroma harum semerbak itu tidak ditemukannya. Oleh karena penasaran dengan aroma itu, ia terus mencari asalnya sampai ke halaman rumah. Sesampai di taman, aroma yan dicari itu tak juga ia temukan. Justru, ia sangat terkejut dan kesal, karena buah dan bunga-bunganya banyak yang hilang. “Siapa pun pencurinya, aku akan menangkap dan menghukumnya!” setengah berseru Anak Raja itu berkata dengan geram. Ia kemudian berniat untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah berani mencuri bunga-bunga dan buahnya tersebut.


Suatu sore, si Anak Raja sengaja bersembunyi untuk mengintai pencuri bunga dan buah di tamannya. Tak lama, muncullah pelangi warna-warni yang disusul tujuh ekor merpati terbang berputar-putar dengan indahnya. Anak Raja terus mengamati tujuh ekor merpati itu. Tanpa diduganya, tiba-tiba tujuh ekor merpati itu menjelma menjadi tujuh bidadari cantik. Rupanya mereka hendak mandi-mandi di kolam Anak Raja. Sebelum masuk ke dalam kolam, mereka bermain-main sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya.


Anak Raja terpesona melihat kencantikan ketujuh bidadari itu. ”Ya Tuhan! Mimpikah aku ini? Cantik sekali gadis-gadis itu,” gumam Anak Raja dengan kagum. Kemudian timbul keinginannya untuk memperistri salah seorang bidadari itu. Namun, ia masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. ”Mmm…aku tahu caranya. Aku akan mengambil salah satu selendang mereka yang tergeletak di pinggir kolam itu,” pikir Anak Raja sambil mengangguk-angguk.


Sambil menunggu waktu yang tepat, ia terus mengamati ketujuh bidadari itu. Mereka sedang asyik bermain sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya. Mereka terlihat bersendau-gurau dengan riang. Saat itulah, si Anak Raja memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia berjalan mengendap-endap dan mengambil selendang miliki salah seorang dari ketujuh bidadari itu, lalu disembunyikannya. Setelah itu, ia kembali mengamati para bidadari yang masih mandi di kolam.


Setelah puas mandi dan bermain-main, ketujuh bidadari itu mengenakan selendangnya kembali. Mereka harus kembali ke Kahyangan sebelum pelangi menghilang. Pelangi adalah satu-satunya jalan kembali ke Kahyangan. Namun Bidadari Bungsu tidak menemukan selendangnya. Ia pun tampak kebingungan mencari selendangnya. Keenam bidadari lainnya turut membantu mencari selendang adiknya. Sayangnya, selendang itu tetap tidak ditemukan. Padahal pelangi akan segera menghilang.


Akhirnya keenam bidadari itu meninggalkan si Bungsu seorang diri. Bidadari Bungsu pun menangis sedih. “Ya Dewa Agung, siapa pun yang menolongku, bila laki-laki akan kujadikan suamiku dan bila perempuan akan kujadikan saudara!” seru Bidadari Bungsu. Tak lama berseru demikian, terdengar suara halilintar menggelegar. Pertanda sumpah itu didengar oleh para Dewa.


Melihat Bidadari Bungsu tinggal sendirian, Anak Raja pun keluar dari persembunyiannya, lalu menghampirinya.


”Hai, gadis cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu menangis?” tanya Anak Raja pura-pura tidak tahu.


”Aku Kencana, Tuan! Aku tidak bisa pulang ke Kahyangan, karena selendangku hilang,” jawab Bidadari Bungsu.


”Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Aku belum berkeluarga,” kata Anak Raja seraya bertanya, ”Maukah kamu menjadi istriku?”


Sebenarnya Kencana sangat ingin kembali ke Kahyangan, namun selendangnya tidak ia temukan, dan pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan janjinya, ia pun bersedia menikah dengan Anak Raja yang telah menolongnya itu. Akhirnya, Kencana tinggal dan hidup bahagia bersama dengan Anak Raja.


Beberapa tahun kemudian. Kencana dan Anak Raja dikaruniai seorang anak laki-laki. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan mereka. Mereka mengasuh anak itu dengan penuh perhatian dan kasih-sayang. Selain mengasuh dan mendidik anak, Kencana juga sangat rajin membersihkan rumah.


Pada suatu hari, Kencana membersihkan kamar di rumah suaminya. Tanpa sengaja ia menemukan selendang miliknya yang dulu hilang. Ia sangat terkejut, karena ia tidak pernah menduga jika yang mencuri selendangnya itu adalah suaminya sendiri. Ia merasa kecewa dengan perbuatan suaminya itu. Karena sudah menemukan selendangnya, Kencana pun berniat untuk pulang ke Kahyangan.


Saat suaminya pulang, Kencana menyerahkan anaknya dan berkata, ”Suamiku, aku sudah menemukan selendangku. Aku harus kembali ke Kahyangan menemui keluargaku. Bila kalian merindukanku, pergilah melihat pelangi!”


Saat ada pelangi, Kencana pun terbang ke angkasa dengan mengipas-ngipaskan selendangnya menyusuri pelangi itu. Maka tinggallah Anak Raja bersama anaknya di bumi. Setiap ada pelangi muncul, mereka pun memandang pelangi itu untuk melepaskan kerinduan mereka kepada Kencana. Kemudian oleh mayarakat setempat, pendukung cerita ini, gerakan Kencana mengipas-ngipaskan selendangnya itu diabadikan ke dalam gerakan-gerakan Tari Patuddu, salah satu tarian dari daerah Mandar, Sulawesi Barat.


Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah anjuran meninggalkan sifat suka mengambil barang milik orang lain. Sifat yang tercermin pada perilaku ketujuh bidadari dan Anak Raja tersebut sebaiknya dihindari. Ketujuh bidadari telah mengambil bunga-bunga dan buah-buahan milik si Anak Raja tanpa sepengetahuannya.
Demikian pula si Anak Raja yang telah mengambil selendang salah seorang bidadari tanpa sepengetahuan mereka, sehingga salah seorang bidadari tidak bisa kembali ke Kahyangan. Sebaliknya, Anak Raja harus ditinggal pergi oleh istrinya, Bidadari Bungsu, ketika si Bungsu menemukan selendangnya yang telah dicuri oleh suaminya itu. Itulah akibat dari perbuatan yang tidak dianjurkan ini.


Mengambil hak milik orang lain adalah termasuk sifat tercela. Bahkan dalam ajaran sebuah agama disebutkan, mengambil dan memakan harta orang lain dengan cara semena-mena, sama artinya dengan memakan harta yang haram. Ada banyak cara yang dilakukan oleh seseorang untuk mengambil dan memakan harta orang lain secara tidak halal, di antaranya mencuri, merampas, menipu, kemenangan judi, uang suap, jual beli barang yang terlarang dan riba. Kecuali yang dihalalkan adalah pengambilan dan pertukaran harta dengan jalan perniagaan dan jual-beli yang dilakukan suka sama suka antara si penjual dan si pembeli, tanpa ada penipuan di dalamnya.


Setiap agama menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa menjunjung tinggi, mengakui dan melindungi hak milik orang lain, asal harta tersebut diperoleh dengan cara yang halal. Oleh karena itu, hendaknya jangan memakan dan mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak halal.


sumber

Sejarah Wayang di Indonesia


Wayang berasal dari kata wayangan, yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang.

Di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme menyembah ‘hyang’, itulah intinya. Dilakukan pada saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala mara bahaya.


Di tahun (898 – 910) M wayang sudah menjadi Wayang Purwa, namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para Sanghyang seperti yang tertulis dalam Prasasti Balitung: sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara. Kira-kira terjemahannya seperti ini: menggelar wayang untuk para hyang menceritakan tentang bima sang kumara.

Di jaman mataram hindu ini, ramayana dari India berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuno. Pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M, Mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuno.

Lalu Arjuna Wiwaha berhasil disusun oleh Mpu Kanwa di masa raja Erlangga sampai di jaman kerajaan Kediri dan raja Jayabaya. Mpu Sedah mulai menyusun serat Bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh Mpu Panuluh. Tak puas dengan itu saja, Mpu Panuluh lalu menyusun serat Hariwangsa dan kemudian serat Gatutkacasraya.

Menurut serat Centhini, sang Jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi (saya juga tidak tahu, apa arti ‘kertas jawi’ ini ) dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian.

Masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa. Kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu
yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’.

Abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu
dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa.

Abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M ).

Ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka Raden Patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong. Wayang beber karya Prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang, dibuat dari kulit kerbau yang ditipiskan (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong
untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . . ).
Gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan,
digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping Sunan Bonang menyusun struktur dramatika-nya. Sunan Prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera
dan juga menambahkan beberapa skenario cerita. Raden Patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan.

Sunan Kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan. Sunan Kudus kebagian tugas men-dalang. ‘Suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha.

Pada masa Sultan Trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi
mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis).

Susuhunan Ratu Tunggal, pengganti Sultan Trenggana, tidak mau kalah
dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan. Selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja. Sementara untuk konsumsi rakyat jelata, Sunan Bonang menyusun wayang damarwulan.

Jaman kerajaan Pajang memberikan ciri khas baru. Wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan). Bentuk wayang semakin ditata: raja dan ratu memakai mahkota/topong, rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain. Di jaman ini pula lah Sunan Kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu. Sedang Sunan Kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog.Dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keraton

Di masa Mataram Islam wayang semakin berkembang. Panembahan Senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus.

Sultan Agung Anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit. Pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi. Posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’. Dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru: cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan.

Sultan Agung Anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang. Bentuk mata semakin diperbanyak dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk). Setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru, raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’

Berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman Mataram Islam sampai jaman sekarang dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang.Berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan. Begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan
oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan.

Dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi. Mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’
(cerita tentang asal-usul semar, misalnya, ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari). Tapi siapa sih yang bisa disebut ‘berwenang menghakimi’?

Walau demikian, garis besar struktur dramatika-nya agaknya relatif tetap pathet nem, pathet sanga, lalu pathet manyura, relatif standar dan tetap seperti juga mengenai inti filsafatnya sendiri : wayang adalah perlambang kehidupan kita sehari-hari.